-->

Sinopsis While You Were Sleeping Episode 6

- Oktober 05, 2017
>

Sumber Gambar: SBS


Jae Chan singgah di kafe, disana ia mem-plaster luka di jarinya. Hong Joo datang tak lama kemudian tapi ia kebingungan karena kacamatanya berembun, jadi ia tidak bisa melihat dengan jelas. Ia bahkan menabrak orang.


Jae Chan melihat itu, ia memasukkan obat tadi yang ia beli ke dalam tasnya. Lalu ia mendatangi Hong Joo dan menariknya ke temparnya tadi.


Ternyata tadi Hong Joo membeli obat untuk Jae Chan, ia takut luka bakar Jae Chan bisa terinfeksi jika tidak ditangani dengan benar.

Hong Joo mencoot kacamatanya dan meminta Jae Chan mendekatkan wajahnya. Jae Chan acuh, tenang saja, ia bisa melakukannya sendiri.


Hong Joo memaksa, ia mendekatkan sendiri wajah Jae Chan untuk melihat lebih jelas luka Jae Chan. Hong Joo kaget karena lukanya sudah melepuh. Jae Chan mungkin akan masuk rumah sakit jika membuat sarapan lagi.

Hong Joo kemudian mengoleskan obat ke luka Jae Chan. Jae Chan menolaknya, ia kan sudah bilang bisa mengoleskannya sendiri? Tapi ia gak menghindar kok, cuma bicara saja.

"kau sudah berhasil berbicara dengan adikmu?"

"Jangan membuatku memulainya. Dia membentakku dan bilang aku tidak pantas menyebut diriku jaksa. Aku sangat mencemaskan dia. Dia pun tidak tahu aku menolongnya. Sungguh tidak tahu diri."

"Benar, bukan? Gadis bernama So Yoon itu sama saja. Aku mengajak dia tinggal di rumahku karena mencemaskan dia. Seharusnya dia berterima kasih, tapi aku malah dicaci maki. Kenapa kita melakukan semua itu untuk menolong mereka?"


Hong Joo ingin melihat jari Jae Chan yang tadi ia lihar terluka juga. Saat Hong Joo sibuk dengan obatnya, Jae Chan melepaskan plaster di jarinya, lalu ia mengulurkan jarinya pada Hong Joo. Hong Joo mengobatinya lalu mem-plasternya.

"Orang lain mungkin tidak tahu, tapi aku "


Hong Joo memuji Jae Chan yang sudah berusaha keras. Jae Chan tersenyum, walaupun tipis. Hong Joo lalu mengucapkan hal yang sama. Mereka sama-sama tersenyum.

Kilas Balik...


Ayah berlari-lari mencari tempat berteduh karena tiba-tiba Hujan. Namun tanpa ayah tahu, Jae Chan mengikuti dibelakang dan ikut berteduh bersamanya di emperan toko. Ayah kaget, kenapa Jae Chan kesana.

"Ada yang ingin kusampaikan pada Ayah."

"Apa?"

"Aku berniat untuk memulainya di atas Tingkat Sembilan."

"Apa? kau mendengar segalanya pada malam itu?"

"Hei, memangnya kau memahami artinya?"

"Sebenarnya, aku tidak tahu. Memangnya apa?"

Ayah hanya ketawa sambil menoyor kepala Jae Chan senang.

Kilas Balik Selesai..


Jae Chan dan Hong Joo menunggu di halte bis. Jae Chan berkomentar, apa Hong Joo selalu memakai kacamata? tidak punya lensa kontak?

"Punya, tapi lensa kontak agak merepotkan. Kenapa bertanya? Aku terlihat lebih baik tanpa kacamata?"

"Tidak, tadi berembun, jadi, kukira kau terganggu."

"Tidak, itu sama sekali tidak menggangguku. Kenapa itu mengganggumu? Aku terlihat berbeda tanpa kacamata? kau makin menyukaiku?"

Hong Joo mencopot-memakai kacamatanya berkali-kali, ia girang. Jae Chan menyuruhnya memakainya saja jika itu tidak mengganggu Hong Joo. Hong Joo melepasnya, ia rela begitu jika Jae Chan terganggu.


Hong Joo mencopot-memakai kacamatanya berkali-kali, ia girang. Jae Chan menyuruhnya memakainya saja jika itu tidak mengganggu Hong Joo. Hong Joo melepasnya, ia rela begitu jika Jae Chan terganggu.

Hong Joo membahas tentang kasus Park Jun Mo, Jae Chan akan menyelidikinya kembali, bukan?

"Itu sudah berakhir. Bagaimana aku bisa menyelidikinya kembali?"

"kau akan mengabaikannya lagi? Bahkan setelah keributan semalam? Adikmu nyaris membunuh seseorang."

"Yang penting, aku sudah menyelamatkan adikku."

"Apa maksudmu? kau harus menemukan bukti lain dan mendakwa Park Jun Mo."


"Dengan apa? Haruskah kukatakan dia memukulinya di dalam mimpimu? kau ingin aku mendakwanya tanpa bukti? Hari ini tenggat waktunya."

"Minta perpanjangan waktu."

"Aku tidak bisa terus meminta perpanjangan waktu. Bulan ini saja, aku punya 300 lebih kasus lama. Jika aku bersikeras menyelidiki lagi kasus yang sudah jelas ini, aku akan dipindahkan ke tempat yang jauh. Aku tidak punya koneksi, jadi, aku bisa saja dipecat."

"kau akan mengubur kasus itu hanya karena takut dipecat?" Tanya Hong Joo.

"Ya, aku takut dipecat. Dengar, aku harus membuang mobil baruku karena insiden itu. Cicilanku masih 36 bulan. Aku juga harus membayar bunga cicilan rumahku. Jadi, aku tidak pernah punya uang di rekeningku. Mataku meneteskan air mata lagi."


Jae Chan lalu memanggil taksi. Sebelum taksi datang, Hong Joo menyuruh Jae Chan ,engingat deretan angka, 45-15-35-43-27-33.

"Apa itu?" Tanya Hong Joo.

"Nomor lotre yang menang pekan ini. Aku melihatnya dalam mimpiku. Aku tidak pernah membeli lotre walau melihat nomor yang menang. Tapi aku hanya membagi informasi ini denganmu. Hadiahnya 2,8 juta dolar."

"Berhenti bicara omong kosong. kau berharap aku percaya?"

"Ya, cepat beli sana."

"Karena dipecat tidak masalah jika aku memenangkan 2,8 juta?"

"Anggap saja itu asuransi dan lakukan saja."

"kau pikir aku terlihat seperti pecundang menyedihkan yang menurut hanya karena uang?"

"Aku hanya.. kau bicara soal pinjaman dan cicilan mobil."

"Aku bukan tipe orang yang memilah-milah perkataan karena uang."


Taksi datang dan Jae Chan langsung menyetopnya. Jae Chan membuang muka pada Hong Joo, kesal tapi jatohnya malah imut, heheheh.

Hong Joo menggerutu, Jae Chan suka menyombong, tapi sangat tidak konsisten. Tapi dia keren. Senyum lebar~


Jae Chan mungkin kepikiran omongan Hong Joo, jadi ia akan mampir ke showroom mobil, tapi malah bertemu Yoo Beom di pintu masuk.


Jae Chan tidak menyapanya, ia memilih pergi, tapi Yoo Beom mengikutinya. Yoo Beom menanyakan kenapa dahi Jae Chan itu? Lagi jerawatan ya? Jae Chan tidak menjawabnya, lalu Yoo Beom mengajak makan sushi seperti janjinya.

"Aku jaksa yang menangani kasusmu." Jae Chan mengingatkan.

"Sekarang tidak lagi. kau cepat sekali marah. Itu semua untuk pamer? Tampaknya kau tidak mendakwa Pak Park dan membatalkan kasusnya."

"Kata siapa aku membatalkan kasusnya?"

"Pak Choi."

"Ah.. Aku belum menyerahkannya kepada Kepala Park. Aku sedang mempelajari dokumennya, dan tampaknya tidak bisa kubiarkan."


Yoo Beom langsung kesal dan berteriak, YAA! sambil memegangi lengan Jae Chan. Yoo Beom mengingatkan, Itu kasus penyerangan, dan korban tidak mau pelaku dihukum. Terus apa maksud Jae Chan tidak mau menutupnya?

Jae Chan membuang tangan Yoo Beom yang menyentuh lengannya dengan kasar, "Itu baru bisa jika hanya kasus penyerangan biasa. Ia juga melihat beberapa hal yang tampak mencurigakan. Ada beberapa orang yang perlu dipanggil juga.

"Hal yang tampak mencurigakan? Orang yang harus dipanggil? Tidak ada hal-hal semacam itu. Tidak akan ada apa pun bahkan jika menelaah dokumennya berbulan-bulan. Kenali lawanmu jika ingin menggertak. Jae Chan-ah. Aku tahu kartumu."

Jae Chan tersenyum, "Hyung, kau tahu apa yang lebih mengerikan dari tidak mengetahui apa pun?" Jae Chan menghilangkan senyum diwajahnya dan memasang wajah serius, Ia melanjutkan, "Saat berpikir kau mengetahui segalanya."


Jae Chan kemudian pergi dengan sangat keren.


Tapi Setelah jauh dari Yoo Beom, Jae Chan lemas, ia bersembunyi di belakang mobil dengan nafas ngos-ngosan. Ia menyesali kata-katanya tadi, ia pasti sudah gila.

"Kenapa aku menyombong seperti itu? Bagaimana ini? Astaga."

Jae Chan lalu menghafalkan nomor Lotre yang diberitahu Hong Joo tadi, 45-15-35-43-27-33.


Hyang Mi bersama Asisten Hee Min akan membawa berkas ke ruangan Kepala Park. Tapi punya Hyang Mi sedikit banget, gak ada separuhnya dari yang dibawa Asisten Hee Min.


Tiba-tiba Jae Chan memanggil Hyang Mi, ia mengambil kembali kasusu Tuan Park Jung Mo yang akan disetor oleh Hyang Mi.

Setelah menemukannya, Jae Chan membawanya  ke ruangannya. Tapi ia tidak sadar kalau Kepala Park melihatnya.


Asisten Hee Min menanggapi, yang Jae Chan lakukan itu hanya menggali, memangnya Jae Chan marmot tanah apa? Hyang Mi menjawab, makanya kasusnya gak selesai-selesai.

"Bertindak lamban jauh lebih buruk daripada bersikap bodoh. Aku kasihan kepadamu." Balas Aisiten Hee Min, ia lalu mengambil dokumen Hyang Mi dan meletakkannya ke keranjangnya.


Jae Chan memerintahkan Pak Choi untuk memanggil Tuan Park Jun Mo dan melakukan pemeriksaan silang untuk dokter Rumah Sakit Kiyoung dan korban, Nyonya Do. Jadi, panggil keduanya di hari yang sama.

"Kupikir kasusnya sudah ditutup karena tidak bisa diusut." Tanya Pak Choi.

"Aku mengusutnya kembali."

"Begitu, ya."

"Hampir lupa. Tolong minta dokter itu membawakan semua rekam medisnya."

"Baik."

Pak Choi mengeluh karena semua itu berarti ia harus lembur lagi.


Pak Choi menghubungi Yoo Beom. Yoo Beom menjawabnya dengan sangat ramah, tapi Pak Choi tidak suka bertele-tele, ia langsung mengatakan kalau Jae Chan ingin memanggil Tuan Park untuk penyelidikan ulang, jadi ia ingin memastikan waktu yang tepat untuknya.

"Astaga, dia keterlaluan. Dia bisa mengirimkan semua pertanyaannya."

"Kurasa kau tidak memahami situasi ini. Tampaknya dia akan meminta surat panggilan jika Tuan Park tidak hadir. Jika begitu, ini akan menjadi masalah besar."

"Aku tidak bisa membiarkan itu. Aku akan berbicara dengannya. Jangan mengkhawatirkan masalah itu."


Selama bicara di telfon, Yoo Beom menahan emosinya, tapi setelah telfon di tutup, ia langsung mengamuk.

"Jae Chan, bedebah! Beraninya dia!"


Yoo Beom menghubungi sekretarisnya dan ia langsung bisa berubah tenang lagi. Yoo Beom menginteruksikan untuk mencari Nyonya Do dan So Yoon.


Pak Choi melapor pada Jae Chan, ia sudah meminta Tuan Park datang, tapi tampaknya tidak akan mudah. Jae Chan juga berpikiran yang sama.

Hyang Mi kembali dan mengatakan kalau Kepala Park ingin bertemu dengan Jae Chan.


Selama perjalanan ke ruangan Kepala Park, Jae Chan kembali menghafal nomor lotre. Bahkan mengulanginya lagi saat sudah di depan ruanganKepala Park, tapi ia lupa digit terakhir.


Tapi Jae Chan kemudian mengetuk pintu lalu masuk. Kepala Park memuji wajah rupawan Jae Chan yang memberikan dampak positif terhadap divisi mereka, akan lebih baik jika Jae Chan juga bisa berkontribusi untuk meningkatkan kinerja mereka.

"Saya akan berusaha keras." Jawab Jae Chan.

Kepala Park pun akhirnya membahas masalah inti, menanyakan kenapa jae Chan tidak memasukkan kasus Tuan Park Jung Mo ke dalam tumpukan laporan yang Jae Chan kirimkan untuk disetujui. Kepala Park dengar itu kasus penyerangan dan korbannya tidak menuntut. Kasus itu sudah jelas. Bukankah Jae Chan terlalu mengulurnya?

"Saya tidak bisa memercayai rekam medis dan dia bisa saja sering melakukan hal itu."

"kau yakin bukan karena ini kasus Pengacara Lee Yoo Beom?"

Saat Kepala Park menanyakan itu, Jae Chan baru akan meminum minumannya. Kemudian Jae Chan meletakakkan cangkirnya untuk menjawab Kepala Park, bukan itu alasannya.


Min Jung Ha menguping pembicaraan mereka, ia mengetiknya di chat khusus Para Asisten Jaksa.


Kepala Park meminta Jae Chan memberikan berkas kasusnya dan fokuslah saja pada kasus lain karena itu sebabnya banyak Jae Chan kasus menumpuk.

"Saya akan menyelidiki lebih dalam dan memeriksa jika ada hal lain."

"Ada banyak kasus lain yang lebih mendesak. Kenapa kau bersikeras ingin menyelesaikan kasus itu? Jika terus seperti ini, kau seolah-olah ingin membalas Pengacara Lee."

"Tidak boleh?"

"Apa?"

"Membalas dendam atau tidak, tidak ada salahnya memeriksa kasusnya dengan teliti."

"kau sedang bergurau denganku?"

"Saya tidak peduli meski Anda salah paham dengan maksudku. Jika kasusnya saya tinggalkan hanya demi menghilangkan kesalahpahaman, kasusnya akan memburuk di masa depan. Jadi, saya berencana memeriksa semua hal, termasuk kejadian di masa lalu, dengan teliti."

"Beraninya kau!!!"


Asisten Jaksa Son Woo Jo membaca apa yang ada di chat. Jaksa Son menanggapi, ia rasa kesabaran Kepala Park sudah habis sampai berteriak begitu. "Beraninya kau!" Dia jarang mengatakan itu. Ia rasa moto orang baru itu adalah hidup dengan bersemangat dalam waktu singkat.


Asisten Jaksa Lee Ji Gwang juga membaca chat itu, tampaknya jae Chan terus melawan Kepala Park.

Jaksa Lee menggebrak meja, "Dia pemberani! Dia hidup seakan-akan ini hari terakhirnya! Ah.. Dahulu aku ditinju saat melawan."


Asisten Hee Min yang terakhir, ia bertanya, apa Jae Chan juga begitu saat kuliah dulu?

"Tidak sama sekali. Kenapa dia begitu berani? Dia memenangkan lotre atau apa?"


Jae Chan mencoba mobil baru, ia didampingi seorang sales mobil itu yang menjelaskan seluk beluk mobil itu. Jae Chan bahkan meminta sales itu memotretnya saat mengemudi.

"Mobil apa yang bagus untuk dijadikan mobil kedua?" Tanya Jae Chan.

Sales itu sangat bersemangat menjelaskannya.


Jae Chan melihat Hong Joo dipinggir jalan, ia lalu menepi untuk menghampirinya. Jae Chan bertanya Hong Joo mau kemana?

"Bukan urusanmu. Kenapa bertanya?" Tanggapan Hong Joo cuek.

"Ada yang ingin kukatakan. Aku bilang kepada Kepalaku bahwa aku akan menyelidiki ulang kasusnya. Aku akan mengungkap kebenarannya, apa pun yang terjadi."

"Sungguh?"

Jae Chan mengangguk. Hong Joo lalu melanjutkan, kenapa Jae Chan menyulitkan diawal jika akhirnya setuju juga? Tindakan dan ucapan Jae Chan selalu bertolak belakang ya? kau munafik?

"Tidak. Bisa dibilang, aku selalu menepati janjiku."

"Tampaknya tidak begitu."


Hong Joo membahas mobil yang dikemudikan Jae Chan, mobil siapa itu? Jae Chan menjawab kalau ia sedang mencoba mengemudikannya. Hong Joo terkejut, Jae Chan akan membelinya?

"Entahlah." Jawab Jae Chan gak yakin, tapi mimik wajahnya menunjukkan keyakinan 100%.

"kau tidak membeli itu karena memercayai kebohonganku soal nomor lotre yang menang, kan?"

"A-Ap-Apa? Itu bohong?"

"kau sungguh memercayainya?" Jae Chan langsung mengelaknya, Hong Joo pikir, ia gila apa? Kenapa juga memercayai omong kosong itu?


Hong Joo bersyukur mendengarnya, dan memastikan satu hal lagi. Jae Chan melawan Kepalanya bukan karena itu, bukan?

"Sudah kubilang, aku bukan tipe orang yang mau melakukan segalanya demi uang."

"Tentu aku tahu kau tidak seperti itu."

"Aku harus pergi."


Jae Chan kembali ke mobilnya dan Hong Joo juga melanjutkan tujuannya. Tapi tiba-tiba kaki Jae Chan lemas, ia sampai akan jatuh.

Ia memikirkan apa yang ia katakan pada Yoo Beom dan Kepala Park tadi. Ia sungguh menyesal karena percaya pada Hong Joo. Ottokke~


Sementara itu, si sales menghubungi istrinya kalau Jae Chan akan membeli mobil kedua, jadi mereka bisa membelikan ponsel baru untuk putra mereka.


Jae Chan lalu masuk dengan muka ditekuk, Si sales tidak memperhatikan, alah sibuk menjelaskan model dan keunggulan mobil kedua yang ia rekoemendasikan.

"Baguslah. Aku akan memikirkannya." Jawab Jae Chan tidak bersemangat. "Kurasa aku akan membelinya suatu hari nanti."

Si Sales kesal, ia lalu mengajak Jae Chan kembali sebelum jalanan ramai.


Hee Min curhat di telfon sama temannya kalau Jae Chan di kantor terus memanggilnya dengan nama depan, tidak sopan sekali. Juga soal Jae Chan yang melawab Kepala Park.

"Hei, karena itulah. Aku tahu karena sudah menangani kasus Park Jung Mo tahun lalu. Antusiasme saja tidak cukup untuk menyelesaikan kasus itu."

Hee Min memutar kursinya dan langsung terkejut bukan main saat melihat Jae Chan jongkon di pojokan.


Jae Chan mengaku, ia berpikir untuk meninggalkan bidang ini. Jae Chan lalu berdiri.

Hee Min bertanya, apa Jae Chan mendengar semuanya? Sebelummenjawab, Jae Chan memintanya untuk bicara Banmal saja, toh hanya mereka berdua. Hee Min mengerti, tapi ia masih agagk kikuk dan harus mengulangi sekali lagi baru benar-benar bisa menggunakan banmal.


Jae Chan mulai serius, Hee Min juga gagal mendakwanya saat menangani kasusnya tahun lalu?

"Yang terjadi saat itu--"

"Aku kemari bukan untuk berdebat. Aku bertanya karena penasaran."

"Ya, aku tidak berhasil mendakwanya. Maaf aku masih terdengar formal."

"Ini tidak akan terjadi jika kau berhasil mendakwanya. kau tidak menyesal?"

"Tidak. Aku akan membuat keputusan serupa jika bisa mengulangnya."

"Kenapa?"

"Aku yakin kau sudah dengar. "Kami akan berjuang demi keadilan dan hak asasi manusia. Kami akan menjadi jaksa yang membantu kaum lemah"."

"Itu Sumpah Jaksa."

"Terkadang, memperjuangkan keadilan dan membantu kaum lemah tidak berjalan beriringan. Seperti pada kasus Park Jun Mo."


Hee Min menjelaskan, pada banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga, menangkap suami, sang pemberi nafkah, akan membuat keluarganya kesulitan menopang hidup mereka sendiri. Istrinya menulis pernyataan bukan karena memaafkannya. Semua tahu itu, hanya berpura-pura tidak tahu karena ingin istrinya membuat keputusan. Antara tetap hidup dalam ruangan penuh duri atau memberanikan diri menerobos dinding berduri itu.

"Orang-orang seperti kita, yang hidup di tengah taman bunga, tidak berhak memutuskan pilihan untuknya. kau ingin mendakwa dan menangkapnya tanpa hak itu? Itu.. bukan keadilan. Itu keberanian yang bodoh." Lanjut Hee Min.


Jae Chan ada di depan gerbang gedung kejaksaan. Ia mengingat kalimat lanjutan Hee Min tadi, 'Orang yang tidak bisa membedakan tidak pantas menjadi jaksa'.

Jae Chan lalu melihat tanda pengenal jaksanya, ia mengamatinya lekat-lekat.

Kilas Balik..


Karena hujan tak kunjung reda, Ayah dan Jae Chan mesuk ke dalam untuk membeli payung.

"Berhenti tertawa. Kenapa tidak mau memberitahuku? Apa maksud Ayah memulai di level lebih tinggi dari Tingkat Sembilan?" Tanya Jae Chan.

"Berarti kau harus lulus ujian hukum."

"Aku akan melakukannya. Aku bisa menjadi apa jika lulus ujian hukum?"

"Astaga, kau bisa menjadi banyak hal. Banyak pekerjaan yang akan tersedia, tapi ayah tidak yakin."


Si tentara itu masuk, tentara yang naik bis ayah Hong Joo, firasat buruk nih! Ayah memperhatikan ransel tentara itu, sebuah ujung senapan menyebul dari sana.


Jae Chan heran, kenapa ayahnya tiba-tiba diam? AYah ingin ia jadi apa?

Ayah lalu menyuruh Jae Chan pulang untuk mengambilkan ponselnya. Ia lupa tadi.

"Tentu saja."


Jae Chan pun akan keluar tapi ayah memanggilnya lagi. AYah menawari Jae Chan untuk jadi jaksa saja.

"Jaksa?"

"Ya. Ayah ingin melihatmu menjadi jaksa."

"Baiklah. Aku akan mencobanya. Baiklah."

"Fighting!!!!"


Jae Chan benar-benar keluar dan ayah kembalu memperhatikan tas tentara itu.


Jae Chan menunggu lampu berubah hijau sebelum menyeberang. Tapi tiba-tiba terdengar suara letusan senapan dan suara kaca pecah.


Jae Chan menoleh, ia melihat dinding kaca toko tadi pecah berhamburan. Lalu tentara tadi melarikan diri.


Jae Chan membuang payungnya, ia langsung  berlari ke dalam. Tapi ia terlambat, ayanya sudah tidak bernafas dengan luka tembakan di dadanya. Jae Chan menangis tersedu sambil memanggil-manggil ayahnya dan menekan luka tembak ayahnya.

"Saat itulah aku sadar.. ayahku sudah membuat pilihan."


Banyak reporter dan pejabat yang hadir di pemakaman ayah Jae Chan, sama dengan saat pemakaman Ayah Hong Joo. Jadi benar, Ayah Jae Chan adalah perwira polisi yang ditembak si tentara itu. Ayah Jae Chan dan Ayah Hong Joo sama-sama jadi korban di tentara itu. *Selamat buat yang tebakannya bener~ Dapat hadiah satu piring cantik..wkwkwkwk..

Ibu dan Seung Won tak henti-hentinya menangis.

"Ayah mengorbankan nyawanya demi menyelamatkan orang lain. Dunia ini menyebutnya pahlawan. Tapi.. ibuku kehilangan suaminya karena pilihan itu. Seung Won dan aku kehilangan ayah kami. Aku tidak bisa bilang.. pilihannya membuatku bangga. Sebenarnya aku membenci itu. Untuk orang lain, pilihannya berarti keadilan. Tapi untukku, itu hanya keberanian yang bodoh."

Kilas Balik Selesai..


Jae Chan mendesah, lalu berjalan ke arah kiri tapi ia bertemu dengan Woo Tak yang tampak terkejut.

"Ada yang bisa kubantu?" Tanya Jae Chan.

"Astaga.. Astaga, tidak bisa kupercaya."

"Apa maksudmu?"

"kau tidak mengingatku? Aku pria yang hampir tertabrak mobil di Hari Valentine."

"Ah.. kau pria itu." Tanggapan Jae Chan setelah mengingatnya.


Woo Tak langsung menjabat tangan Jae Chan, seharusnya ia berterima kasih lebih awal. Ia juga mengenalkan namanya.

"Tidak apa-apa. Aku Jung Jae Chan."

"kau seorang jaksa."

"Ya, aku bekerja di sini. kau terluka?"

"Tentu saja tidak. Berkat kau, aku baik-baik saja. Aku ingin mentraktirmu makan. Syukurlah kita bertemu. Bagaimana jika makan malam bersama hari ini? kau sudah ada janji?"

"Tidak."

"Kalau begitu, ayo. Aku akan mentraktirmu makan barbeku."

"Baiklah."

Sembari jalan, Woo Tak mengatakan kalau ia lahir di tahun Naga. Jae Chan juga sama, jadi mereka ini sebaya. Woo Tak senang, jadi ia mengajak Jae Chan bicara banmal saja, tapi Jae Chan menolaknya.


Hong Joo akan membawa barang-barang ke dalam restoran, tiba-tiba So Yoon membantunya.

"Hei, aku tidak membutuhkan bantuanmu. kau belajar saja."

"Aku melakukannya bukan untuk membantumu. Aku hanya bosan. Aku tidak tahan merasa bosan."

"kau luar biasa. Aigo.. Seperti seseorang yang kukenal, perkataan dan ucapan berbeda. kau tampak tegar, tapi sebenarnya lemah. kau tampak baik, tapi perkataanmu jahat."


Seung Won datang dan langsung mengambil alih untuk membawa barang-barang itu, "Ahjumma, dia ini pianis. Tidak boleh melakukan pekerjaan yang bisa melukai tangannya."

Seung Won lalu membawanya ke dalam. So Yoon tersenyum dan mengikutinya masuk, sementara Hong Joo bingung, Ahjumma? Siapa yang Ahjumma? Dimana?


Woo Tak membawa Jae Chan ke Restoran Ibunya Hong Joo dan mereka ketemu di depan. Woo Tak tak menyangka mereka kebetulan bertemu lagi, kebetulan yang menyenangkan. Hong Joo setuju.

Woo Tak lalu menjelaskan pada Jae Chan yang tampak bertanya-tanya. Woo Tak menjelaskan bawasannya ia mengantar Hong Joo pulang dengan mobil polisinya beberapa hari lalu.

"Aku kemari karena ingin makan daging. Astaga, kebetulan seperti ini bisa terjadi? Aku menyesal tidak menanyakan namamu hari itu. Siapa namamu?" Tanya Woo Tak pada Hong Joo.

Hong Joo mengatakan namanya sambil menjabat uluran tangan Woo Tak. Woo Tak kembali mengatakan tahun lahirnya. Hong Joo terkejut, ia juga lahir di tahun itu. Mereka memutuskan untuk bicara Banmal.


Woo Tak melanjutkan, keran mereka bertiga sama-sama lahir di tahun naga, mereka seperti naga terbang.

"Apa? Naga terbang? Itu konyol sekali." Tanggapan Hong Joo. Ia ketawa sambil menutup mulutnya, keknya sengaja deh biar Jae Chan cemburu.. wkwkwk.


Woo Tak kemudian memuji Hong Joo yang terlihat lebih cantik tanpa kacamatanya. Hong Joo tersanjung, sungguh? serius?

Jae Chan tidak tahan lagi, ia menyerobot masuk ke dalam duluan.


Sekretaris Yoo Beom sudah menemukan dimana Nyonya Do dan So Yoon tinggal saat ini.

"Dimana?"

Yoo Beom langsung memutar balik mobilnya menuju alamat yang diberikan sekretarisnya.


Seung Won bantu-bantu melayani tamu di restoran, ia kebagihan membawakan makanan di meja Jae Chan. Tapi karena kesal, ia meletakkan semuanya dengan kasar.

"Hyung sudah melarangmu terlibat dengan So Yoon kan? Sedang apa kau di sini? Kenapa mengenakan celemek?"

"Itu yang ingin kutanyakan."

"Astaga. Anak nakal."


Woo Tak berkomentar, ia pikir Jae Chan dan adiknya akan tampak akur, tapi mereka sama seperti kakak-beradik lainnya.

"kau juga tahu dia adikku? Ini bukan kebetulan, ya? Dari mulai berpapasan denganku sampai membawaku kemari." Tanggapan Jae Chan.

"Aku juga penasaran dengan itu. Ini semua kebetulan atau takdir?"

Woo tak tiba-tiba menggenggam tangan Jae Chan. Jae Chan risih dan cepat-cepat menarik tangannya. Apa-apaan Woo tak itu?

"Sebenarnya aku tidak merasakan apa pun. Berarti ini bukan takdir?" Tanya Woo Tak.

Jae Chan lalu berdiri, ia akan ke toilet.


Woo Tak berpikir, Mimpinya sungguh akan menjadi kenyataan?

"Dalam mimpiku menuju restoran ini bersama Kyung Han, ku berpapasan dengan Jung Jae Chan. Dalam mimpiku, kami berpisah setelah berkenalan dan aku kemari bersama Kyung Han."


"Sisanya sama dengan yang ada di dalam mimpiku. Dari tempat duduk pelanggan, sampai makanan yang mereka pesan. Semuanya persis."


Jae Chan tidak sabar. Berhenti bergurau dan katakan dengan jujur, ini semua kebetulan atau Woo Tak sengaja membawanya kemari? Lebih baik tidak membicarakan omong kosong seperti takdir.

"Tunggu!" Sela Woo Tak.


Woo tak lalu memperhatikan Ibu Hong Joo yang memberi perintah pada Hong Joo mengenai pesanan pelanggan.

Woo Tak kembali berpikir lagi, jika semua ini sama dengan mimpinya, pria itu akan masuk lewat pintu itu dalam lima detik.


Woo Tak mulai menghitung mundur dan hitungannya tepat sekali.

Jae Chan menoleh ke arah pintu dan ternayta yang datang adalah Yoo Beom.


So Yoon dan ibunya terkejut, sementara Hong Joo heran. Ia bertanya kenapa Yoo Beom ada disana.


Woo Tak: Astaga.. ini benar-benar terjadi. Dia masuk tepat dalam hitungan satu.


Yoo Beom menjawab Hong Joo, ia kesana bukan untuk menemui Hong Joo, melainkan sebagai Pengacara Park Jung Mon. So Yoon maju melindungi ibunya.


Woo Tak menjelaskan pada Jae Chan, ia sudah melihat banyak hal dan kesimpulannya: Semua ini bukan kebetulan, melainkan adalah takdir.

"kau mengenal pria itu, bukan?" Tanya Woo Tak.

Woo Tak membatin, "Aku benar-benar penasaran. Perubahan kecil yang kubuat. Akankah.. itu mencegah kejadian buruk yang akan segera terjadi?"


Hong Joo melindungi So Yoon, ia menggenggam tangan So Yoon erat.


Jae Chan menatap tajam Woo Tak.


Lalu kita diperlihatkan tempat persemayaman abu Ayahnya Jae Chan. Sama seperti milik Ayah Hong Joo, disana seiring bertambahnya tahu, bertambah pula foto-fotonya.


Dan ternyata, Jae Chan hoby berfoto itu untuk ia tunjukkan pada ayahnya. Ini loh yah.. aku sudah jadi jaksa, aku udah beli mobil, dll.  

***

== K O M E N T A R ==

Wow! Wow! Wow! bener-bener twist yang tak disangka-sangka. Woo Tak juga bisa melihat masa depan dengan mimpinya, ada apa ini? Kalau Woo Tak gak berubah jadi jahat dan mau membantu lead couple kita untuk menolong orang-orang, bisa jadi kandidat loveline lain dengan Hong Joo. Hehehehe.. biar tambah seru gitu, Jae Chan ada saingannya..

Pertanyaannya, apa Woo Tak mulai sering bermimpi masa depan seperti Jae Chan? Apa semua itu karena terlibat dengan Hong Joo? Karena Hong Joo menyelamatkannya (melalui mimpi, karena sejatinya Jae Chan yang menyelamatkannya), atau karena hal lain? Dan jika Jae Chan dan Hong Joo terhubung karena kematian ayah mereka, bagaimana cara menjelaskan untuk kasus Woo Tak? Apa Woo Tak terhubung dengan kasus Tentara itu? Bisa jadi umur mereka yang sebaya itu bukan kebetulan juga.

Seneng juga akhirnya diungkap latar belakang Jae Chan. Ayahnya sayang banget sama dia, padahal jika melihat saat ayah dan Jae Chan di kantor polisi karena kecelakaan motor itu, rasanya ayah Jae Chan orangnya keras. Tapi karena itu kita bisa paham, kenapa Jae Chan berusaha sangat keras untuk mengabulkan harapan terakhir ayahnya dan kenapa Jae Chan menolak membanu orang lain, karena ia belajar dari ayahnya, ia tidak ingin berakhir seperti ayahnya.

== P R E V I E W ==
 
Gak ada Subtitle untuk Previwnya jadi aku masukin gambar yang manis-manis aja, berharap episode selanjutnya ada kissue.. 
 

>

1 komentar:

avatar

Smangad kak, ditunggu next episodenyaaa


EmoticonEmoticon

 

Start typing and press Enter to search